Entri Populer

Selasa, 24 Juni 2014

POLEMIK TERMINAL TIRTONADI Ratusan Pedagang Asongan Geruduk Balai Kota

Pedagang asongan Terminal Tirtonadi Solo melakukan aksi teatrikal saat melakukan demonstrasi di Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka menuntut dipakainya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2002 yang mengatur hak dan kewajiban para pengasong ketika berjualan di terminal. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)Pedagang asongan Terminal Tirtonadi Solo melakukan aksi teatrikal saat melakukan demonstrasi di Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka menuntut dipakainya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2002 yang mengatur hak dan kewajiban para pengasong ketika berjualan di terminal. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)
Solopos.com, SOLO–Ratusan pedagang asongan Terminal Tirtonadi yang tergabung dalam Paguyuban Asongan Semangat Kerja (Pasker) Solo menggelar aksi di halaman gedung Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka kembali menuntut pencabutan Perda No.1/2013 tentang Penyelanggaraan Perhubungan yang dinilai membatasi ruang gerak asongan di terminal.
Pedagang asongan Terminal Tirtonadi Solo melakukan aksi teatrikal saat melakukan demonstrasi di Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka menuntut dipakainya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2002 yang mengatur hak dan kewajiban para pengasong ketika berjualan di terminal. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)
Pedagang asongan Terminal Tirtonadi Solo melakukan aksi teatrikal saat melakukan demonstrasi di Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka menuntut dipakainya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2002 yang mengatur hak dan kewajiban para pengasong ketika berjualan di terminal. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)
Pantauan solopos.com, pedagang memulai aksi dengan berjalan kaki dari Astana Nayu, Nusukan, menuju Balai Kota. Sambil berorasi, mereka mengusung spanduk yang berisi perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Ketua Pasker, Suharsono, saat ditemui wartawan di sela aksi, menuntut Pemkot mengembalikan Perda No.2/2002 tentang Terminal Penumpang.
Pihaknya mengklaim Perda No.1/2013 yang digunakan saat ini telah memarginalkan asongan dalam mencari penghidupan. “Kami disamakan dengan pengemis dan pengamen yang dilarang memasuki terminal. Di sini kami tidak meminta bantuan, kami hanya minta perlindungan,” ujarnya.
Informasi yang dihimpun solopos.com, ruang lingkup asongan kini terbatas di sisi timur terminal setelah sisi barat dibangun dengan konsep boarding pass. Kondisi itu membuat penghasilan sejumlah asongan menurun. Beberapa pedagang pun nekat kucing-kucingan dengan petugas agar dapat mengais rezeki di sisi barat terminal.
“Kami harus kejar-kejaran. Kami juga seperti main bola, diberi kartu kuning, kartu merah (peringatan). Terakhir kami diminta membuat surat pernyataan dan ini kami tolak,” tukasnya.
 
Seorang pedagang Asongan, Sumarni, mengaku sering nekat jualan di barat terminal karena faktor penghasilan. Menurut perempuan yang mengasong di Tirtonadi sejak tahun 1993 ini, sudah terlalu banyak pengasong di terminal sisi timur. Data Pasker, jumlah asongan di Tirtonadi saat ini sekitar 258 orang.
“Saya nekat untuk makan anak. Saya sering ngumpet di bawah mobil biar enggak kecekel (tertangkap).”
Wakil Wali Kota (Wawali), Achmad Purnomo, yang dalam kesempatan itu menerima demonstran, berjanji menindaklanjuti tuntutan para pedagang. Pihaknya bakal mengupayakan solusi bersama agar terminal tetap tertib dan nyaman.
“Yang jelas nanti akan dibahas agar penumpang untung, pedagang untung, pemerintah juga untung,” tuturnya.
Kepala Dishubkominfo, Yosca Herman Soedrajad, menampik keberadaan Perda No.1/2013 menjadi alasan pembatasan ruang gerak asongan di terminal.
Menurutnya, konsep boarding pass yang diterapkan di barat terminal memang menyulitkan asongan untuk menjajakan dagangannya. “Kalau dulu bis bisa ngetem, sekarang kan tidak. Perubahan sistem memang perlu penyesuaian.” Disinggung kekhawatiran monopoli dagangan kebijakan tersebut, Yosca membantahnya. “Kami tidak akan menambah kios dagangan di bawah,” tandasnya.
Sumber : Solopos
 

Kamis, 23 Januari 2014

Pengasong Terminal Tirtonadi Keberatan Isi Perda 1/2013

dok.timlo.net/daryono
Pasker, Sompis Audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta
SOLO, suaramerdeka.com - Sejumlah perwakilan Paguyuban Asongan Semangat Kerja (Pasker) Terminal Tirtonadi, meminta agar isi pasal 97 huruf d Perda 1/2013 tentang Penyelenggaran Perhubungan, direvisi. Dalam pasal 97 huruf d disebutkan, setiap orang yang berada di dalam terminal dilarang menjadi calo, pengemis, pengamen, peminta sumbangan/derma, pemulung, penjual oprokan dan asongan.
Sekadar tahu, dalam Perda 1/2013 tertuang berbagai aturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perhubungan di Kota Solo, termasuk di dalamnya operasional terminal. Pedagang keberatan dengan isi pasal 97 huruf d, karena mengancam mata pencaharian mereka. Jika melihat isi pasal tersebut, keberadaan mereka dilarang di terminal. Selain itu, mereka keberatan karena disetarakan dengan pengemis.
Keberatan Pasker disampaikan, saat mereka beraudiensi dengan Wakil Ketua DPRD Surakarta Supriyanto, Rabu (22/1). Aktivis dari Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (Sompis) dan Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip) ikut mendampingi dalam audiensi tersebut.
Ketua Pasker Suharsono mengatakan, sebelum Perda 1/2013 diberlakukan, pedagang asongan di terminal diakomodir dan diatur dalam Perda 2/2002 tentang Terminal Penumpang. "Pedagang asongan boleh beraktivitas di terminal. Ada KTA, berseragam, juga membayar retribusi Rp 500," katanya.
Namun Perda 2/2002 kemudian dilebur bersama sejumlah perda lain yang berkait perhubungan, ke dalam Perda 1/2013. Saat Perda 1/2013 dibahas, Suharsono mengaku, Pasker tidak dilibatkan. Padahal menurutnya, Pasker termasuk salah satu stakeholder di Terminal Tirtonadi. Setelah perda ditetapkan dan diberlakukan, kemudian diketahui bahwa pedagang asongan dilarang beroperasi di terminal, seperti tertuang dalam pasal 97 huruf d.
Suharsono menilai, pelarangan tersebut tidak manusiawi. Bahkan penyetaraan pedagang asongan dengan pengemis, dinilai tidak beretika. "Pedagang yang punya semangat kerja tinggi, oleh yang membuat perda disamakan dengan pengemis dan gelandangan," keluhnya.
Aktivis Kompip Eko Setiawan menilai, isi perda tersebut merupakan kemunduran. Sebab pedagang asongan yang dulu diakui melalui Perda 2/2002, justru tidak diakui di Perda 1/2013. Berdasarkan pendataan Pasker, saat ini tercatat ada 260-an pedagang asongan yang berjualan di Terminal Tirtonadi. Dari jumlah tersebut, sebagian berasal dari luar Kota Solo.
Wakil Ketua DPRD Supriyanto mengatakan, pembahasan perda sudah melalui mekanisme yang berlaku, termasuk meminta masukan dari masyarakat melalui public hearing. "Tidak ada pikiran untuk menyingkirkan siapapun. Soal pedagang asongan, bisa dilakukan pengaturan. Cari solusi.  Kalaupun meminta isi perda direvisi, ya harus ada dasarnya. Agar nanti bisa ditindaklanjuti," jelasnya.
Ketua Pansus Perda Perhubungan Abdullah AA mengatakan, isi perda tidak perlu direvisi. Namun pedagang asongan tidak serta merta dihilangkan, karena bisa dilakukan pengaturan agar mereka tetap bisa berjualan. "Akan dicari solusinya, agar kelangsungan hidup mereka tetap ada. Ya mungkin diberi los atau kios, atau ditata di tempat tertentu untuk berjualan. Ada pengaturan," imbuhnya.
( Irfan Salafudin / CN34 / SMNetwork )