Entri Populer

Kamis, 23 Januari 2014

Pengasong Terminal Tirtonadi Keberatan Isi Perda 1/2013

dok.timlo.net/daryono
Pasker, Sompis Audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta
SOLO, suaramerdeka.com - Sejumlah perwakilan Paguyuban Asongan Semangat Kerja (Pasker) Terminal Tirtonadi, meminta agar isi pasal 97 huruf d Perda 1/2013 tentang Penyelenggaran Perhubungan, direvisi. Dalam pasal 97 huruf d disebutkan, setiap orang yang berada di dalam terminal dilarang menjadi calo, pengemis, pengamen, peminta sumbangan/derma, pemulung, penjual oprokan dan asongan.
Sekadar tahu, dalam Perda 1/2013 tertuang berbagai aturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perhubungan di Kota Solo, termasuk di dalamnya operasional terminal. Pedagang keberatan dengan isi pasal 97 huruf d, karena mengancam mata pencaharian mereka. Jika melihat isi pasal tersebut, keberadaan mereka dilarang di terminal. Selain itu, mereka keberatan karena disetarakan dengan pengemis.
Keberatan Pasker disampaikan, saat mereka beraudiensi dengan Wakil Ketua DPRD Surakarta Supriyanto, Rabu (22/1). Aktivis dari Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (Sompis) dan Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip) ikut mendampingi dalam audiensi tersebut.
Ketua Pasker Suharsono mengatakan, sebelum Perda 1/2013 diberlakukan, pedagang asongan di terminal diakomodir dan diatur dalam Perda 2/2002 tentang Terminal Penumpang. "Pedagang asongan boleh beraktivitas di terminal. Ada KTA, berseragam, juga membayar retribusi Rp 500," katanya.
Namun Perda 2/2002 kemudian dilebur bersama sejumlah perda lain yang berkait perhubungan, ke dalam Perda 1/2013. Saat Perda 1/2013 dibahas, Suharsono mengaku, Pasker tidak dilibatkan. Padahal menurutnya, Pasker termasuk salah satu stakeholder di Terminal Tirtonadi. Setelah perda ditetapkan dan diberlakukan, kemudian diketahui bahwa pedagang asongan dilarang beroperasi di terminal, seperti tertuang dalam pasal 97 huruf d.
Suharsono menilai, pelarangan tersebut tidak manusiawi. Bahkan penyetaraan pedagang asongan dengan pengemis, dinilai tidak beretika. "Pedagang yang punya semangat kerja tinggi, oleh yang membuat perda disamakan dengan pengemis dan gelandangan," keluhnya.
Aktivis Kompip Eko Setiawan menilai, isi perda tersebut merupakan kemunduran. Sebab pedagang asongan yang dulu diakui melalui Perda 2/2002, justru tidak diakui di Perda 1/2013. Berdasarkan pendataan Pasker, saat ini tercatat ada 260-an pedagang asongan yang berjualan di Terminal Tirtonadi. Dari jumlah tersebut, sebagian berasal dari luar Kota Solo.
Wakil Ketua DPRD Supriyanto mengatakan, pembahasan perda sudah melalui mekanisme yang berlaku, termasuk meminta masukan dari masyarakat melalui public hearing. "Tidak ada pikiran untuk menyingkirkan siapapun. Soal pedagang asongan, bisa dilakukan pengaturan. Cari solusi.  Kalaupun meminta isi perda direvisi, ya harus ada dasarnya. Agar nanti bisa ditindaklanjuti," jelasnya.
Ketua Pansus Perda Perhubungan Abdullah AA mengatakan, isi perda tidak perlu direvisi. Namun pedagang asongan tidak serta merta dihilangkan, karena bisa dilakukan pengaturan agar mereka tetap bisa berjualan. "Akan dicari solusinya, agar kelangsungan hidup mereka tetap ada. Ya mungkin diberi los atau kios, atau ditata di tempat tertentu untuk berjualan. Ada pengaturan," imbuhnya.
( Irfan Salafudin / CN34 / SMNetwork )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar