| Pasker, Sompis Audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta |
Sekadar tahu, dalam Perda 1/2013 tertuang berbagai
aturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perhubungan di Kota Solo,
termasuk di dalamnya operasional terminal. Pedagang keberatan dengan isi
pasal 97 huruf d, karena mengancam mata pencaharian mereka. Jika
melihat isi pasal tersebut, keberadaan mereka dilarang di terminal.
Selain itu, mereka keberatan karena disetarakan dengan pengemis.
Keberatan
Pasker disampaikan, saat mereka beraudiensi dengan Wakil Ketua DPRD
Surakarta Supriyanto, Rabu (22/1). Aktivis dari Solidaritas Masyarakat
Pinggiran Surakarta (Sompis) dan Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan
Institusi Publik (Kompip) ikut mendampingi dalam audiensi tersebut.
Ketua
Pasker Suharsono mengatakan, sebelum Perda 1/2013 diberlakukan,
pedagang asongan di terminal diakomodir dan diatur dalam Perda 2/2002
tentang Terminal Penumpang. "Pedagang asongan boleh beraktivitas di
terminal. Ada KTA, berseragam, juga membayar retribusi Rp 500," katanya.
Namun
Perda 2/2002 kemudian dilebur bersama sejumlah perda lain yang berkait
perhubungan, ke dalam Perda 1/2013. Saat Perda 1/2013 dibahas, Suharsono
mengaku, Pasker tidak dilibatkan. Padahal menurutnya, Pasker termasuk
salah satu stakeholder di Terminal Tirtonadi. Setelah perda ditetapkan
dan diberlakukan, kemudian diketahui bahwa pedagang asongan dilarang
beroperasi di terminal, seperti tertuang dalam pasal 97 huruf d.
Suharsono
menilai, pelarangan tersebut tidak manusiawi. Bahkan penyetaraan
pedagang asongan dengan pengemis, dinilai tidak beretika. "Pedagang yang
punya semangat kerja tinggi, oleh yang membuat perda disamakan dengan
pengemis dan gelandangan," keluhnya.
Aktivis Kompip Eko Setiawan
menilai, isi perda tersebut merupakan kemunduran. Sebab pedagang asongan
yang dulu diakui melalui Perda 2/2002, justru tidak diakui di Perda
1/2013. Berdasarkan pendataan Pasker, saat ini tercatat ada 260-an
pedagang asongan yang berjualan di Terminal Tirtonadi. Dari jumlah
tersebut, sebagian berasal dari luar Kota Solo.
Wakil Ketua DPRD
Supriyanto mengatakan, pembahasan perda sudah melalui mekanisme yang
berlaku, termasuk meminta masukan dari masyarakat melalui public
hearing. "Tidak ada pikiran untuk menyingkirkan siapapun. Soal pedagang
asongan, bisa dilakukan pengaturan. Cari solusi. Kalaupun meminta isi
perda direvisi, ya harus ada dasarnya. Agar nanti bisa ditindaklanjuti,"
jelasnya.
Ketua Pansus Perda Perhubungan Abdullah AA mengatakan,
isi perda tidak perlu direvisi. Namun pedagang asongan tidak serta merta
dihilangkan, karena bisa dilakukan pengaturan agar mereka tetap bisa
berjualan. "Akan dicari solusinya, agar kelangsungan hidup mereka tetap
ada. Ya mungkin diberi los atau kios, atau ditata di tempat tertentu
untuk berjualan. Ada pengaturan," imbuhnya.
(
Irfan Salafudin /
CN34 / SMNetwork )