Entri Populer
Jumat, 27 Juni 2014
Selasa, 24 Juni 2014
POLEMIK TERMINAL TIRTONADI Ratusan Pedagang Asongan Geruduk Balai Kota
Solopos.com, SOLO–Ratusan
pedagang asongan Terminal Tirtonadi yang tergabung dalam Paguyuban
Asongan Semangat Kerja (Pasker) Solo menggelar aksi di halaman gedung
Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka kembali menuntut pencabutan
Perda No.1/2013 tentang Penyelanggaraan Perhubungan yang dinilai
membatasi ruang gerak asongan di terminal.
Pantauan solopos.com, pedagang
memulai aksi dengan berjalan kaki dari Astana Nayu, Nusukan, menuju
Balai Kota. Sambil berorasi, mereka mengusung spanduk yang berisi
perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Ketua Pasker, Suharsono, saat
ditemui wartawan di sela aksi, menuntut Pemkot mengembalikan Perda
No.2/2002 tentang Terminal Penumpang.
Pihaknya
mengklaim Perda No.1/2013 yang digunakan saat ini telah memarginalkan
asongan dalam mencari penghidupan. “Kami disamakan dengan pengemis dan
pengamen yang dilarang memasuki terminal. Di sini kami tidak meminta
bantuan, kami hanya minta perlindungan,” ujarnya.
Informasi yang dihimpun solopos.com, ruang lingkup asongan kini terbatas di sisi timur terminal setelah sisi barat dibangun dengan konsep boarding pass. Kondisi itu membuat penghasilan sejumlah asongan menurun. Beberapa pedagang pun nekat kucing-kucingan dengan petugas agar dapat mengais rezeki di sisi barat terminal.
“Kami harus kejar-kejaran. Kami juga seperti main bola, diberi kartu kuning, kartu merah (peringatan). Terakhir kami diminta membuat surat pernyataan dan ini kami tolak,” tukasnya.
Wakil Wali Kota (Wawali), Achmad Purnomo, yang dalam kesempatan itu menerima demonstran, berjanji menindaklanjuti tuntutan para pedagang. Pihaknya bakal mengupayakan solusi bersama agar terminal tetap tertib dan nyaman.
“Yang jelas nanti akan dibahas agar penumpang untung, pedagang untung, pemerintah juga untung,” tuturnya.
Kepala Dishubkominfo, Yosca Herman Soedrajad, menampik keberadaan Perda No.1/2013 menjadi alasan pembatasan ruang gerak asongan di terminal.
Menurutnya, konsep boarding pass yang diterapkan di barat terminal memang menyulitkan asongan untuk menjajakan dagangannya. “Kalau dulu bis bisa ngetem, sekarang kan tidak. Perubahan sistem memang perlu penyesuaian.” Disinggung kekhawatiran monopoli dagangan kebijakan tersebut, Yosca membantahnya. “Kami tidak akan menambah kios dagangan di bawah,” tandasnya.
Pedagang
asongan Terminal Tirtonadi Solo melakukan aksi teatrikal saat melakukan
demonstrasi di Balai Kota Solo, Selasa (24/6/2014). Mereka menuntut
dipakainya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2002 yang mengatur hak
dan kewajiban para pengasong ketika berjualan di terminal. (Septian Ade
Mahendra/JIBI/Solopos)
Informasi yang dihimpun solopos.com, ruang lingkup asongan kini terbatas di sisi timur terminal setelah sisi barat dibangun dengan konsep boarding pass. Kondisi itu membuat penghasilan sejumlah asongan menurun. Beberapa pedagang pun nekat kucing-kucingan dengan petugas agar dapat mengais rezeki di sisi barat terminal.
“Kami harus kejar-kejaran. Kami juga seperti main bola, diberi kartu kuning, kartu merah (peringatan). Terakhir kami diminta membuat surat pernyataan dan ini kami tolak,” tukasnya.
Seorang
pedagang Asongan, Sumarni, mengaku sering nekat jualan di barat
terminal karena faktor penghasilan. Menurut perempuan yang mengasong di
Tirtonadi sejak tahun 1993 ini, sudah terlalu banyak pengasong di
terminal sisi timur. Data Pasker, jumlah asongan di Tirtonadi saat ini
sekitar 258 orang.
“Saya nekat untuk makan anak. Saya sering ngumpet di bawah mobil biar enggak kecekel (tertangkap).”Wakil Wali Kota (Wawali), Achmad Purnomo, yang dalam kesempatan itu menerima demonstran, berjanji menindaklanjuti tuntutan para pedagang. Pihaknya bakal mengupayakan solusi bersama agar terminal tetap tertib dan nyaman.
“Yang jelas nanti akan dibahas agar penumpang untung, pedagang untung, pemerintah juga untung,” tuturnya.
Kepala Dishubkominfo, Yosca Herman Soedrajad, menampik keberadaan Perda No.1/2013 menjadi alasan pembatasan ruang gerak asongan di terminal.
Menurutnya, konsep boarding pass yang diterapkan di barat terminal memang menyulitkan asongan untuk menjajakan dagangannya. “Kalau dulu bis bisa ngetem, sekarang kan tidak. Perubahan sistem memang perlu penyesuaian.” Disinggung kekhawatiran monopoli dagangan kebijakan tersebut, Yosca membantahnya. “Kami tidak akan menambah kios dagangan di bawah,” tandasnya.
Sumber : Solopos
Kamis, 23 Januari 2014
Pengasong Terminal Tirtonadi Keberatan Isi Perda 1/2013
| Pasker, Sompis Audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surakarta |
Sekadar tahu, dalam Perda 1/2013 tertuang berbagai
aturan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perhubungan di Kota Solo,
termasuk di dalamnya operasional terminal. Pedagang keberatan dengan isi
pasal 97 huruf d, karena mengancam mata pencaharian mereka. Jika
melihat isi pasal tersebut, keberadaan mereka dilarang di terminal.
Selain itu, mereka keberatan karena disetarakan dengan pengemis.
Keberatan
Pasker disampaikan, saat mereka beraudiensi dengan Wakil Ketua DPRD
Surakarta Supriyanto, Rabu (22/1). Aktivis dari Solidaritas Masyarakat
Pinggiran Surakarta (Sompis) dan Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan
Institusi Publik (Kompip) ikut mendampingi dalam audiensi tersebut.
Ketua
Pasker Suharsono mengatakan, sebelum Perda 1/2013 diberlakukan,
pedagang asongan di terminal diakomodir dan diatur dalam Perda 2/2002
tentang Terminal Penumpang. "Pedagang asongan boleh beraktivitas di
terminal. Ada KTA, berseragam, juga membayar retribusi Rp 500," katanya.
Namun
Perda 2/2002 kemudian dilebur bersama sejumlah perda lain yang berkait
perhubungan, ke dalam Perda 1/2013. Saat Perda 1/2013 dibahas, Suharsono
mengaku, Pasker tidak dilibatkan. Padahal menurutnya, Pasker termasuk
salah satu stakeholder di Terminal Tirtonadi. Setelah perda ditetapkan
dan diberlakukan, kemudian diketahui bahwa pedagang asongan dilarang
beroperasi di terminal, seperti tertuang dalam pasal 97 huruf d.
Suharsono
menilai, pelarangan tersebut tidak manusiawi. Bahkan penyetaraan
pedagang asongan dengan pengemis, dinilai tidak beretika. "Pedagang yang
punya semangat kerja tinggi, oleh yang membuat perda disamakan dengan
pengemis dan gelandangan," keluhnya.
Aktivis Kompip Eko Setiawan
menilai, isi perda tersebut merupakan kemunduran. Sebab pedagang asongan
yang dulu diakui melalui Perda 2/2002, justru tidak diakui di Perda
1/2013. Berdasarkan pendataan Pasker, saat ini tercatat ada 260-an
pedagang asongan yang berjualan di Terminal Tirtonadi. Dari jumlah
tersebut, sebagian berasal dari luar Kota Solo.
Wakil Ketua DPRD
Supriyanto mengatakan, pembahasan perda sudah melalui mekanisme yang
berlaku, termasuk meminta masukan dari masyarakat melalui public
hearing. "Tidak ada pikiran untuk menyingkirkan siapapun. Soal pedagang
asongan, bisa dilakukan pengaturan. Cari solusi. Kalaupun meminta isi
perda direvisi, ya harus ada dasarnya. Agar nanti bisa ditindaklanjuti,"
jelasnya.
Ketua Pansus Perda Perhubungan Abdullah AA mengatakan,
isi perda tidak perlu direvisi. Namun pedagang asongan tidak serta merta
dihilangkan, karena bisa dilakukan pengaturan agar mereka tetap bisa
berjualan. "Akan dicari solusinya, agar kelangsungan hidup mereka tetap
ada. Ya mungkin diberi los atau kios, atau ditata di tempat tertentu
untuk berjualan. Ada pengaturan," imbuhnya.
(
Irfan Salafudin /
CN34 / SMNetwork )
Selasa, 12 Maret 2013
Mediasi tersumbat, Pisang jadi Alat Sambat
Lapsus Espos(Senin wage,
11/3/2013).
![]() |
Nama jalan itu Ir.juanda.
Lokasinya sangat strategis lantaran berada di pintu gerbang masuk Kota Solo
dari timur. Namun hampir setahun ini, aspal jalan dari arah timur ke barat
sepanjang 2 Km ambles. Meski berulangkali ditumpuki aspal, akantetapi tetap
saja bekas galian itu ambles. Alhasil, jalan itu serasa kian menyempit lantaran pengguna jalan enggan melintasi sisi
utarav jalan raya yang ambles tersebut. “Kasus itu persis seperti yang terjaadi
di Jl. Perintis kemerdekaan dan KH Agus Salim Purwosari. Belum genap tiga bulan
masyarakat menikmati jalan mulus, kini kondisinya sudah rusak lagi gara-gara
bekas galian yang ditutup seenaknya,’kata Ismu j Wijarto, salah satu pengayuh
becak Solo saat berbincang dengan Espos, pekan lalu. Sebagai penarik becak,
Ismu yang aktif di Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (Sompis) itu
merasakan betul susahnya melintasi jalan rusak. Selain mempercepat kerusakan
becak yang menjadi sumber penghasilan
satu-satunya, jalan yang berlubang juga juga bisa membahayakan keselamatan
penumpang.”Maka tak heranbanyak warga yang mememasang pot bunga, hingga menanam
pohon pisang di jalan yang rusak itu. Maksudnya agar pengguna jalan tahu bahwa
ada jalan membahayakan”, terangnya. Menuut pegiat Konsorsium Monitoring dan
Pemberdayaan institusi Publik (KOMPIP) Solo Eko Setiawan, penanaman pohon
pisang , pot bunga atau media laainnya di jalan berlubang adalah bentuk
ekspresi warga dalam menyalurkan aspirasi mereka. Sebabn kata Eko, warga tak
tahu lagi harus kemana mengadu. “Maka solusinya ialah menananam pohon pisang di
jalan. Saya kira, itu cara yang paling gampang bagi orang kecil dalam
menyuarakan aspirasi yang tersumbat.
Oleh Aris S. (Wartawan Solopos)
Jumat, 01 Maret 2013
Sompis Dialog Multipihak Membahas Konsep Pemberdayaan Asongan
![]() |
| Suasana Diskusi |
![]() |
| Harsono Ketua Pasker/Wapres Sompis |
Dari pertemuan ini disepakati
yang pertama harus ada pengakuan identitas asongan, dan perlu komitmen politik
(perda) sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan, jangka menengah peretemuan
ini akan disampaikan ke walikota dan jangka pendeknya akan ada pertemuan
lanjutan antara Pasker, sompis dan Keala Dishubkominfo dengan kejelasan
diperbolehkannya pedagang asongan bisa berjualan di terminal baru terminal
tirtonadi bagian barat karena selama ini baru diperbolehkan berjualan di
terminal Timur yang sepi tentunya akan berdampak pada kesejahteraan mereka
kedepannya menjadi terancam.
Rabu, 13 Februari 2013
Sompis Advokasi Pedagang Selther Klitikan Notoharjo
![]() |
| Ditemui Kepala DPP dan Lurah Pasar Notoharjo |
Selasa, 12 Februari 2013 Sompis menindaklanjuti aduan dari 2 Pedagang selther oprokan Notoharjo Pak Sagiman dan Mulyadi PKL Jl. Veteran yang sekarang direlokasi ke pasar selter klitikan Notoharjo, karena jarang menempati lokasi tempat selter di pasar Notoharjo, karena sudah diberi surat peringatan 2 kali akhirnya di hari kamis, 7 Februari 2013 lalu ijin penempatan dicabut oleh DPP. Dengan didampingi presiden Sompis, Gatot Subagyo, dan pengurus yang lain menemui DPP, Sompis menguatkan argumentasi 2 pedagang tersebut, bahwa ada dua mindset yang berbeda antara Pemerintah Pemkot dan Sompis. Problemnya sebenarnya bukan di 2 pedagang tersebut semata, dan Pemerintah seharusnya tidak hanya mengacu pada kompensasi yang fisik semata, akan tetapi juga harus memikirkan juga bagaimana mengembalikan income sumber penghidupan mereka, minimal sama dengan lokasi awal sebagai PKL, Pedagang Notoharjo yang dulunya bedol desa dari PKL Banjarsari butuh 1 hingga 2 tahunan mereka jualan di jalan lagi demi menyambung hidup dimasa transisi yang butuh waktu yang tidak sebentar. Sebab habitat PKL bukan di pasar, sehingga perlu dukungan serius dan pemkot dalam hal ini dukungan pada masa transisi hingga suasana pasar ramai pengunjungnya, tanaman saja apabila mau dipindah dari pot ke wadah yang lain harus butuh disirami dan dipupuk hingga bisa menyesuaikan dengan lingkungannya.
Dalam pertemuan tersebut, dari ketua paguyuban juga mendukung untuk mereka bisa kembali berjualan lagi, dan menghimbau kedua pedagang anggotanya tersebut untuk menghormati dan mengikuti aturan di paguyuban untuk menghidupkan pasar.
Pada akhir negosiasi tersebut akhirnya kepala DPP menerima permohonan kedua pedagang selter klitikan pasar notoharjo tersebut dengan syarat membuat surat pernyataan di atas materai enam ribu 1. Menyatakan tidak mengulangi kesalahan pertama.
2.Bersedia menempati dan berjualan sesuai perjanjian dengan paguyuban dan DPP.
3. Apabila dalam jangka satu bulan tidak berjualan, bersedia untuk mengembalikan tempat jualan di selter klitikan dengan sukarela.
Senin, 04 Februari 2013
Sompis Mengikuti DKT SKPD 2013
Pada bulan Januari 2013 ini, SKPD di Kota Solo mengadakan DKT (Diskusi Kelompok Terbatas) sektoral Musrenbang tahun 2013 yang mengundang kelompok paguyuban sektoral dampingannya. Seperti PKL dan Pedagang pasar dengan DPP(Dinas Pengelola Pasar), Pemulung dengan DKP, PRT, PSK dengan Dinsosnakertrans dan Bapermas serta Satpol PP. Dan masih menunggu undangan DKT dari Dishub, Disparta, DKK maupun Dispora. Dalam mengikuti DKT tahun 2013 kali ini sekaligus untuk mengecek hasil DKT tahun 2012 yang tertampung di APBD 2012, diantaranya yang sudah terlihat adalah usulan Paguyuban sekar asih di Dinsosnakertrans usulan Pembuatan Perda PRT dan pelatihan loundry dan bantuan mesin cuci/ kelompok, untuk DPP diantaranya peningkatan sarana & prasarana membuat saluran drainase di lokasi selther PKL timur Solo square usulan PKL RAS, penyeragaman KTA Paguyuban asongan terminal Tirtonadi (Pasker) dll.
| Sompis mengikuti DKT di DKP |
![]() |
| Sompis mengikuti DKT di Dinsosnakertrans |
![]() |
| Sompis mengikuti DKT di DPP |
Langganan:
Komentar (Atom)







