Entri Populer

Jumat, 21 September 2012

Sompis Advokasi Asongan Terminal Tirtonadi



Suasana dialog dengan Kepala Terminal Tirtonadi dan Wakil Ketua DPRD

Pada tanggal 20 September 2012 pagi telah berkumpul 50an lebih anggota Paguyuban Asongan Terminal Tirtonadi berkumpul diruang tunggu terminal Titonadi dari pukul Sembilan pagi, sembari menunggu perwakilan dari DPRD datang, dan akhirnya pukul setengah 2 siang Pak Rodhi bisa datang dan dialogpun dimulai.
Sompis bersama pengurus Pasker (Paguyuban Asongan Terminal Tirtonadi) mengahadap Kepala UPTD Terminal Tirtonadi Ibu Jamila, bersama Wakil ketua DPRD kota Solo Bapak Muhammad Rodhi. Dari Sompis hadir adalah ketua Divisi Advokasi Sriatun, Ketua Pasker Suharsono dan perwakilan pengurus paguyuban dan diterima langsung kepala UPTD terminal Tirtonadi Jamilla.
Hal ini berangkat dari adanya kasus pedagang asongan yang ditangkapi karena naik bus patas. Ada yang sampai ditahan dagangannya, ataupun diskors selama berhari-hari tidak boleh jualan. Dan semenjak diberlakukannya Perda Retribusi Pedangang asongan adalah termasuk bukan obyek retribusi, sehingga KTAnisasi saat ini dihapus. Dan yang paling membuat resah adalah wacana asongan tidak diperkenankan masuk terminal baru yang sebentar lagi akan difungsikan. Apabila hal ini diterapkan 350 anggota Pasker, dimana yang aktif jualan siang dan malam berjumlah 280an akan terancam sumber penghidupannya.
Dari Hasil negosiasin tersebut akhirnya KTA nisasi akan dibuatkan kembali sebagai pengakuan identitas asongan terminal Tirtonadi. Dan klarifikasi dari Ibu Jamilla asongan tidak akan dihapuskan.

Kamis, 20 September 2012

Sompis Adakan Diskusi Bedah APBD Kota Solo 2012

Untuk acapacity building sekaligus mengkritisi APBD kota Solo tahun 2012, Sompis mengadakan Diskusi tematik bedah APBD kota Solo. Dihadiri 26 pengurus Sompis dan Kompip Solo, dengan pembicara mas Suyatno. Melihat wajah APBD kota Solo tahun 2012, Kota Solo memiliki pendapatan 1,140 tiriliun rupiah, dengan anggaran Belanjanya yaitu 1,198 triliun rupiah, dan defisit sebanyak 57,5 M rupiah. Dari jumlah ini ketergantungan dari pusat masih sangat tinggi dimana PAD (Pendapatan asli daerah) nya itu hanya 189,7 Milyar rupiah. Dari pusat sebesar 775,4 Milyar rupiah, ditambah pendapatan lain-lain sisanya. Dari total pendapatan (dari pusat dan daerah) hanya 14% dari selururh total pendapatan. Untuk komponen belanja tidak langsungnya belanja pegawai mendapatkan porsi yang paling tinggi yaitu 635,7 Milyar rupiah (56%), belanja bunga 3,23 Milyar, belanja hibah 77, 45 Milyar rupiah, belanja bansos 500 juta rupiah, bantuan keuangan ke parpol 690,5 juta rupiah dan belanja tak terduga 2,25 Milyar rupiah. Untuk belanja hibah itu tanpa DKT/musren nilainya cukup besar sekali, apabila disandingkan dengan jumlah anggaran yang diusulkan DKT kemarin hanya 1,3 triliyun untuk 3000 orang (asumsi jumlah anggota pengusul dari 11 Komunitas sektoral), padahal 77 Milyard ini tanpa proses partisipasi musren yaitu dengan mengajukan proposal, jadi disini nilai-nilai asas keadilannya dimana? Untuk belanja yang langsung atau yang langsung bisa dinikmati oleh masyarakat seperti belanja barang dan jasa, belanja modal bisa menjadi modal/ menjadi aset, tapi juga ada belanja pegawai juga sebesar 47, 25 M. Belanja barang dan jasa yang habis pakai sebesar 235,2 Milyar rupiah, akan tetapi alokasi belanja modalnya 196 Milyar rupiah, misal untuk bikin jalan, jembatan, gapura, itu kalah dengan anggaran barang dan jasa, dimana rata-rata di daerah lain kebalik dari Solo, dimana rata-rat infrastrukturnya yang lebih banyak dari belanja barang dan jasanya.


Dalam proses merencanakan usulan untuk APBD tahun 2013, 11 Komunitas sektoral sompis sudah ikut berpartsisipasi dalam DKT Sektoral musrenbang, dimana 2 tahun terakhir ini sebetulnya kota Solo sudah masuk ke fase yang lebih jelas statusnya (adanya Perwali no. 15 tahun 2011). Memang ada 4 jalur pendekatan dalam perencanaan, pertama Top down dan bottom up, kedua pendekatan politis yaitu ketika pimpinana daerah punya visi misi, DPRD punya konstituen mereka punya slot, ketiga pendekatan teknokratis, sebetulnya dengan adanya kejadian yang nyata dan penelitian birokrasi atau pemerintahan bisa melakukan perencanaan dari kantornya, dan yang keempat yaitu pendekatan partisipasi, dimana kelompok masyarakat teritoro dan sektoral bisa mengusulkan melalui jalur partisispatif. Untuk pendekatan terakhir masih sangat lemah, yang sangat kuat itu adalah pendekatan yang dilaukan pemerintah. Kira-kira kurang dari 1 persen yang direncanakan oleh masyarakat, maka sisanya itu adalah dari pemerintahan, padahal kalau belajar dari kenyataannya, sebagian yang diusulkan oleh birokrasi itu lebih untuk memenuhi kebutuhan birokrasi. Dimana azas keadilannya?